# LEGENDA DESA #
Panembahan Suranegara (Kyai Asem Mertangga), Pertapan Platar Tengah / Pulau Momongan dan Asal Usul Desa Jetis.
Bertumpu pada kajian sejarah, bahwa Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati pada tahun 1575 dan mencapai zaman keemasan pada pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) dengan wilayah meliputi seluruh pulau Jawa dengan pembagian wilayah sebagai berikut.
- Wilayah Kutonegoro (Kutogoro), adalah daerah keraton.
- Wilayah Negara Agung, adalah daerah sekitar keraton meliputi Kedu, Bagelen, dan Pajang.
- Wilayah mancanegara dan pesisiran.
Berpijak pada pembagian wilayah ini, maka Kadipaten Ayah yang terletak di Kabupaten Kebumen adalah bagian dari wilayah “Kedu”, berbatasan dengan Banyumas dan Cilacap. Menurut silsilah Kadipaten Ayah, Panembahan Lumbung tidak menjabat Adipati melainkan hanya menjabat Kanduruhan IV, yang merupakan bawahan dari Adipati Wirasaba. Kadipaten Wirasaba merupakan bagian dari kekuasaan Mataram Islam. Panembahan Lumbung (Adipati Ayah IV) mempunyai empat orang anak, yaitu:
- Kyai Suranegara (Kyai Asem Mertangga);
- Kyai Dipanegara (Kyai Asem Ayah);
- Kyai Kusumayudha (Panembahan Benda); dan
- Putri Wuragil (Nyai Bubulan).
Berkat didikan Panembahan Lumbung yang penuh kasih sayang kepada empat orang anaknya, setelah besar mereka menjadi kesatria yang gagah berani dan berbudi luhur. Sebagai putra tertua, Raden Suranegara lebih mempersiapkan diri untuk menjadi Adipati Ayah. Sementara adiknya, Raden Dipanegara lebih senang bepergian. Ia sering diajak Adipati Wirasaba untuk sowan ke Keraton Surakarta. Tidak mengherankan apabila Raden Dipanegara lebih dikenal oleh orang-orang di kalangan Keraton Surakarta daripada Raden Suranegara.
Suatu hari pada pisowanan Agung di Keraton Surakarta Adipati Ayah IV mengutus Pangeran kedua yaitu Raden Dipanegara mewakili ayahnya yang sedang sakit dan dibekali selembar sapu tangan sakti, pesan dari Adipati Ayah IV yang tidak lain adalah Ayahnya, nanti pada saat pisowanan agar sapu tangan tersebut dikibaskan di depan pisowanan. Sungguh ajaib begitu sapu tangan dikibaskan oleh Pangeran Dipanegara maka berubah wujud menjadi sebuah kelir wayang lengkap dengan perangkat gamelannya. Setelah kejadian tersebut maka Pangeran Dipanegara semakin tersohor di kalangan Keraton Surakarta
Setelah Panembahan Lumbung wafat status Kadipaten Ayah dikembalikan lagi ke Keraton Surakarta. Pada suatu hari sewaktu Pangeran Suranegara (Putera Pertama) sedang beristirahat di Balai Malang datanglah utusan dari Keraton Surakarta dengan membawa layang kekancingan/ beslit (SK). Betapa terkejutnya Pangeran Suranegara karena ternyata yang diangkat sebagai Adipati Ayah menggantikan Ayahnya bukan dirinya, melainkan adiknya yaitu Raden Dipanegara. Sementara dirinya hanya sebagai Pepatih Amangkubumi.
Beberapa hari kemudian, wisuda Jumenengan Adipati Ayah dilaksanakan di mana Adipati Wirasaba bertindak sebagai wakil dari Keraton Surakarta. Dengan peristiwa tersebut Pangeran Suranegara merasa dipermalukan, namun demi kerukunan keluarga Pangeran Suranegara beserta keluarganya dan juga diikuti adik-adiknya berpamitan pindah ke sebelah barat sungai. Disamping adik dan keluarganya, kepindahan Pangeran Suranegara juga diikuti sebagian prajurit yang sangat setia, diantaranya Ki Jawera dan Ki Mertawangsa yang bertugas sebagai pekatik merawat kuda-kuda kesayangan Pangeran Suranegara untuk menuju sebelah barat Sungai Bodo Ijo. Setelah berhasil menyeberangi Sungai Bodo Ijo, rombongan Pangeran Suranegara beristirahat dan menetap di sebelah barat sungai karena letaknya hanya bersebelahan dengan Kadipaten Ayah, maka Pangeran Suranegara memberi nama tempat tersebut dengan nama Grumbul Mertangga yang artinya pindah ke tetangga.
Selanjutnya Pangeran Suranegara dan keluarga serta prajuritnya menetap di Grumbul Mertangga dan mendirikan padepokan di tempat tersebut. Untuk mengenang peristiwa yang memalukan maka Pangeran Suranegara menanam pohon asem di depan padepokan sebagai pertanda bahwa Pangeran Suranegara merasa sangat lingsem (malu) diperlakukan oleh adiknya, sehingga ia dikenal dengan Panembahan Asem Mertangga. Sampai sekarang pohon asem tersebut masih tumbuh kokoh berumur ratusan tahun terletak di Grumbul Mertangga (sekarang Dusun Mertangga).
Panembahan Suranegara adalah orang yang berbudi luhur dan sakti mandraguna berkat seringnya melakukan tirakat / tapa brata adapun tempat yang sering digunakan untuk bertapa yaitu “Platar Tengah” atau Pulau Momongan sekarang.
Seiring berjalannya waktu Pangeran Suranegara dan keluarga karena kesabaran dan ketabahannya serta dibantu oleh para prajuritnya berhasil membangun grumbul tersebut menjadi sebuah Dusun Mertangga dan menjalanani kehidupan yang bahagia. Salah satu kebiasaan Pangeran Suranegara adalah menyaksikan pagelaran tari Ledek (Lengger) setiap habis panen rendeng hari Kamis Wage/Jumat Kliwon bertempat di padepokannya (sampai sekarang warga Dusun Mertangga masih melestarikan budaya Merdi Bumi dengan tari Ledek Lengger).
Pada suatu waktu saat tiba perayaan syukuran dengan menggelar kesenian tari Ledek (Lengger) maka para tetangga/warga khususnya perempuan diundang ke padepokan untuk mempersiapkan acara tersebut dengan memasak hidangan perayaan, salah satunya memasak nasi. Namun entah mengapa setiap nasi yang dihidangkan dan dicicipi oleh Pangeran Suranegara selalu terasa kemlethis (keras setengah matang). Begitu seterusnya setiap Pangeran mengambil (njiot) nasi selalu terasa kemlethis, maka untuk mengingat peristiwa tersebut Pangeran Suranegara memberi tetenger (nama) suatu saat desa ini diberi nama Desa Jetis. Grumbul Mertangga (Dusun Mertangga) Desa Jetis dengan dipimpin Pangeran Suranegara terus berkembang, sehingga terdengar sampai ke Raden Dipanegara, Adipati Ayah, yang juga adalah adik kandung dari Pangeran Suranegara.
Raden Dipanegara/ Adipati Ayah menyadari bahwa sebetulnya yang berhak menjadi Adipati Ayah menggantikan ayahnya adalah kakaknya yaitu Pangeran Suranegara, tetapi karena terus dipengaruhi oleh istrinya yang membisikkan pengaruh tidak baik dengan mengatakan bahwa suatu saat Pangeran Suranegara dengan para prajuritnya akan merebut kembali Kadipaten Ayah dari Raden Dipanegara. Oleh karena itu sebelum Pangeran Suranegara merebut Kadipaten kembali lebih baik mereka dimusnahkan saja. Seperti itu bisikan dari istri Raden Dipanegara. Akhirnya Raden Dipanegara menyetujui saran dari istrinya dan mengirimkan para prajuritnya dibantu oleh Gerombolan Krajiman (makhluk halus) yang dipimpin oleh istri Adipati menuju Padepokan Asem Mertangga. Maka terjadilah perang hebat antara prajurit Suranegara dan prajurit Kadipaten Ayah.
Singkat cerita Pangeran Suranegara gugur di padepokannya sendiri dan dimakamkan di suatu alas (hutan) yang selanjutnya diberi nama makam Alas Tua yang terletak di Desa Jetis Kecamatan Nusawungu Kabupaten Cilacap. ( Disusun kembali oleh H. Muharno, SE, Kepala Desa Jetis. 17 Juli 2019 ).
Form Komentar